info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Jadi Guru Menyenangkan Tak Seperti yang Kubayangkan

Haris Prasetio Budi 16 Februari 2015

Mengurus anak orang sedangkan diri sendiri belum memiliki momongan, tak berpengalaman menangani anak menangis, anak berkelahi, anak protes, dan banyak maunya. Mungkin ini yang menjadi momok seorang guru muda. Tapi bagaimana dengan kenyataanya?

            Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya akan menjadi guru. Saya adalah seorang yang memiliki karakter ingin bebas, tidak suka diatur, sering protes, galak dan tentunya tidak suka pada anak-anak. Menurutku anak-anak adalah mahkluk kecil yang menjengkelkan, maunya banyak ketika keinginannya tidak dituruti, menangis ketika dimarahi, bahkan saya sering tidak tau apa maunya ,sehingga sering rewel, dan itu membuat saya tidak nyaman cenderung  tidak menyukainya. Kadang ketika sosok anak kecil menginginkan sesuatu dan tidak dituruti, maka akan menangis, setelah menangis, ditanya maunya apa atau ditawari apa, tangisan yang lebih keras yang menjawabnya. Atau ketika anak kecil bertanya itu apa? Ketika saya jawab mobil, maka ia akan bertanya lagi mobil apa? Ketika saya menjawab mobil balap, maka ia akan bertanya lagi mobil balap apa? Pertanyaan itu akan selesai saat saya jengkel dan menjawabnya dengan pertanyaan, “menurut  adik mobil balap apa? “

            Pandangan saya tentang anak yang menjengkelkan lama-lama luntur dengan sendirinya tanpa saya sadari ketika dihadapkan pada profesi guru. Ada banyak hal tak terduga yang membuatku berkaca pada diriku sendiri.  Sebagai contoh saya pernah merasakan bahwa anak memang memiliki kecerdasan sendiri-sendiri. Saya memiliki anak, katakanlah anak orang, yang lebih tepatnya murid saya, Ibnu namanya, saat pelajaran matematika, pasti sering kupanggil kedepan untuk saya jelaskan jawabannya yang tidak selalu tepat, setelah ia perbaiki, masih saja kesalahannya pada hal yang itu-itu saja, tetapi ketika pelajaran yang lain seperti bahasa Indonesia atau IPS, saya jarang memanggil namanya, sampai tidak pernah mengulangi materi kepada dia sampai berkali kali, bahkan jawaban dia melebihi apa yang saya harapkapkan. Lalu ada lagi seorang siswi yang setiap kuterangkan terlihat seperti tidak memperhatikan, bertanya ya tidak, hanya diam dan datar, tapi ketika saya memberikan soal, ia lahap habis soal dengan waktu singkat dengan nilai sempurna, mengagumkan bukan? Ada lagi yang memang setiap saya jelaskan belum pernah mengerti-mengerti, sehingga saya lebih giat untuk belajar bagaimana agar siswaku ini mengerti, tetapi ia yang lebih pengertian dariku, setiap saya memeriksa pekerjaannya, dan muka saya agak mengkerut, lalu hal yang ia lakukan berjalan ke belakangku dan memijit pundakku, memang anak yang pengertian pada gurunya. Ada lagi aktivitas yang populer di kelas bawah, lebih tepatnya kelas 1, setiap saya memeriksa pekerjaan mereka, pasti pada berkumpul di depan meja, ketika diperintahkan untuk duduk, mereka malah saling menunjukkan kemampuanya dalam berpantun, contohnya :

“Kami koka kola, Pak Haris seprit

Kami sekolah, Pak Haris kecepit”

 

“Pak Haris Tahu, Kami duren

Pak Haris naik perahu, kami keren”

 

“Kami duren, Pak Haris otak-otak

Kami keren, Pak Haris botak”

            Seketika itu saya hanya bisa garuk-garuk kepala saja, saya tidak pernah terpikirkan akan mendapatkan hiburan seperti ini sebelum menjadi guru. Saya jadi berpikir dua kali untuk mengatakan anak anak itu menjengkelkan. Meskipun ada yang menjengkelkan,akan tetapi hal ini cukup menghiburku, contohnya ketika pelajaran berlangsung dengan serius, tiba-tiba hidung saya merasakan bau tak sedap, lebih tepatnya seperti bau kentut, ketika saya bertanya siapa yang buang angin, murid saya hanya menjawab dengan senyuman dan tawa, lalu kita berlari keluar kelas dan menghirup udara segar bersama-sama.

            Pandangan awal saya tentang anak anak yang menjengkelkan dan tidak menyenangkan terhapus ketika saya dihadapkan langsung dengan profesi guru. Muridku juga guruku, mengajarkan bagaimana tentang cara bersabar, belajar bagaimana memperlakukan anak, bagaimana agar anak mengerti, bagaimana agar anak senang dalam menerima materi. Aku menjadi seperti anak-anak ketika aku belum mengerti anak. Hehe jadi Guru menyenangkan tak seperti yang kubayangkan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua